Cukup menggelitik ketika mendengar diskusi yang digelar Metro TV di  8-11 show pagi ini. Diskusi membahas indikasi yang mungkin timbul ketika  pemerintah memberlakukan pajak impor film asing ke Indonesia.
Disatu  pihak, para pelaku film Indonesia merasa terbantu karena sedikit  banyak, kebijakan ini dapat membantu mendongkrak kualitas dan produksi  film nasional. Sementara dari sisi artis juga menganggap kebijakan ini  sangat membantu karena menurutnya akan membuat sineas lokal lebih  produktif dalam memproduksi film (seharusnya dia jujur dengan mengatakan  order semakin banyak untuk artis).
Saya pribadi tidak  terlalu detail menyimak dialog tersebut, namun hal yang cukup  menggelikan bagi saya adalah, ketika salah satu narasumber mengatakan  bahwa penonton Indonesia harus di didik sehingga bisa menerima film yang  berkualitas (maksudnya film Indonesia).
Dia dengan  entengnya mengatakan yang bermasalah penontonnya....menurut dia penonton  Indonesia harus di didik, untuk menonton film yang berkualitas.  Bagaimana mungkin kalian mau mendidik penonton Indonesia kalau kalian  membuat film sampah, esek-esek, komedi tidak bermutu. Ingat  bung....menikmati film adalah permasalah selera, sama seperti menikmati  musik. Tidak ada satupun orang di bumi ini yang berhak mendikte, saya  harus menonton apa dan harus mendengarkan apa.
Logika apa  sih yang kalian kembangkan.....gak usah terlalu banyak omong berbicara  masalah kualitas....pertanyaan saya cuma satu, apakah industri perfilman  Indonesia sudah siap untuk memproduksi film-film yang berkualitas???  jawabannya pasti tidak.....sudah pasti itu.....
Kalau  kalian katakan bahwa film Hollywood bukanlah satu-sautnya acuan, saya  rasa kita sepakat, tapi ingat film Hollywood adalah industri yang  menginspirasi sineas-sineas dunia untuk berkarya lebih baik lagi.  Kenapa?? jawabannya sederhana, mereka memiliki komitmen, ide cemerlang,  teknologi tinggi yang belum ada satu negarapun mampu mencapainya.
Jangan  congkaklah.....film Indonesia masih harus dibenahi....butuh waktu  sampai film Indonesia mencapai bentuk yang akhirnya menjadi ciri  Indonesia. Bersaing dengan film asing?? siapa takut??? tapi caranya  jangan begini dong??? menaikkan pajak impor film dengan alasan membantu  perfilman lokal.
Alasan yang dipermukaan terlihat tepat,  tapi sebenarnya sama sekali tidak efektif, apakah ini skenario untuk  meningkatkan pendapatan Pajak??? who knows!!!!
Jika ingin  film Indonesia ditonton oleh rakyat Indonesia kelas Menengah-Atas,  STOP  membuat film jelek....tolong  disortir film-film hantu, esek-esek,  percintaan remaja yang gak jelas juntrungannya, film-film dengan dalih  SEX EDUCATION....itu sampah....trend film SEX EDUCATION sendiri dimulai  di AS pada tahun 90an (American Pie...remember??) sementara kita baru  mau produksi film-film seperti ini??? jelas-jelas produsen film tersebut  mencontoh Hollywood. Lalu kalian masih bilang gak butuh Hollywood??
Justru  film Hollywood dan Asing kita gunakan sebagai contoh, inspirasi dan  pelecut untuk maju, membuat cerita yang tidak kacangan, menemukan  formula bertutur yang baru dan orisinil....ingat itu.....jangan sampai  film-film Hollywood hanya bisa diakses oleh sineas....bisa kacau  nantinya.....bisa plagiat sana-sini....
Film Hollywood  telah mendidik penonton Indonesia menjadi KRITIS dan  BERKUALITAS......penonton Indonesia terbiasa menonton film-film berat  (genre berlimpah) yang sampai detik ini, belum bisa dicapai sineas  Indonesia. Kami sebagai penonton semakin kritis...akibatnya ketika  dipaksa menonton film Indonesia, hal yang terasa adalah begitu mudahnya  menebak alur cerita yang disuguhkan, akibatnya......orang malas menonton  film Indonesia....karena apa? mudah ditebak....alur cerita terlalu  ringan....dan terlalu banyak mata melotot......(model sinetron)
Memang  ada beberapa sineas Indonesia yang brilian, tapi permasalahnnya adalah  mereka tidak mungkin bikin film setiap tahun, saking idealisme nya  mereka, mereka hanya akan merilis film jika waktunya tepat dan jika  mereka rasa idenya betul-betul matang. Contoh film-film Indonesia  terbaik menurut saya: Janji Joni, Merantau, Laskar Pelangi....dan  beberapa lainnya, yang mungkin saya lupa.
Dialog tersebut  menurut saya tidak berimbang dan sudah salah kaprah...sudut pandang yang  dimunculkan hanyalah dari satu pihak tidak melihat dari beberapa pihak  yang dirugikan akibat kebijakan itu. Ada satu narasumber yang  menyebutkan bahwa salah satu industri yang terkena imbas kebijakan ini  adalah Teater atau Bioskop. Karena lebih dari 50 persen muatan film di  bioskop didominasi film-film asing.
Jujur, ketika belum  ada kasus ini, saya termasuk orang yang senang menonton di  Bioskop.....lebih dari 90 persen film yang saya tonton adalah film  Hollywood, sesekali jika ada film Indonesia bagus saya ikut nonton. Tapi  melihat Bioskop saat ini komposisinya 90% film Indonesia,  dengan  judul-judul sampah, seperti pocong gak pake kain, kuntilanak  striptis....akhirnya saya jadi malas menginjakkan kaki ke Bioskop....oh  ya....apakah kalian tahu, bahwa dengan adanya film Asing di  Bioskop....justru membantu menekan pembajakan, setidaknya walau orang  masih mengkonsumsi bajakan, paling tidak para produsen tetap untung  karena terbantu oleh penjualan tiket....apakah logika kita sampai  kesana?
Yang layak dikritisi adalah:
1. Apakah pemberlakukan pajak impor ini otomatis akan meningkatkan kualitas perfilman Indonesia??
Jika  ada yang harus di kritik, maka beberapa pelaku film Indonesia perlu di  tuding menjadi biang rusaknya kualitas perfilman Indonesia. Tidak perlu  dijabarkan....coba sebutkan film Indonesia yang berkualitas dan coba  bandingkan jumlahnya dengan yang norak dan jelek.
2. Apakah kebijakan ini otomatis membuat produksi film Indonesia meningkat??
Gak  juga tuh...masih banyak sineas yang teriak-teriak minta bantuan swasta  atau pemerintah agar dibantu dalam urusan pendanaan, sementara kualitas  cerita dan kemampuan mengolah masih dipertanyakan.
3. Jika tidak ada film Hollywood, siapa berani jamin sineas Indonesia tidak melakukan plagiat?
Dengan  berkurangnya akses terhadap film-film Hollywood akan membuka kesempatan  bagi pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk melakukan plagiat.  Contoh??? liat sinetron??? siapa berani bilang sinetron Indonesia idenya  orisinil??? hampir semua hasil bajakan dari drama Korea, Hong Kong  maupun Jepang....
4. Akhirnya apakah tidak ada cara yang lebih  sportif untuk meningkatkan mutu dan kuantitas produksi film nasional  ketimbang menaikkan pajak dan merusak kesenangan penikmat film??
Tanyakan  saja secara jujur kepada rakyat Indonesia apakah mereka mau menonton  film Indonesia dengan cara yang seperti ini?? apa akibatnya jika jumlah  penonton biosko menurun, produsen film lokal merugi, akhirnya tidak  mampu memproduksi film lagi?? siapa yang untung??? siapa yang rugi???  fikirkan kembali bung......

